Sabtu, 30 Januari 2021

SEPASANG ULAR NAGA DI SATU SARANG JILID 14-03

*SEPASANG ULAR NAGA DI SATU SARANG : 14-03*

Karya.   : SH Mintardja

Tapak Lamba menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia berpaling kepada kawannya, kawannya itu berkata, “Apakah Linggadadi itu agak kurang waras?”

“Kenapa?”

“Sikapnya sama sekali tidak dapat diperhitungkan.”

Tapak Lamba mengangguk-angguk. Katanya, “Justru bagi kita ia adalah orang yang sangat berbahaya. Tetapi agaknya, ia lebih bodoh dari kakaknya. Kakaknya adalah orang yang pilih tanding dan cerdik sekali. Bagi Singasari, Linggapatilah yang lebih berbahaya.”

“Apa bedanya bagi kita dan bagi Singasari?”

“Kita hanyalah bagian yang sangat kecil dari Singasari. Dan agaknya Linggadadi berbuat menurut kesenangannya saja tanpa memikirkan kepentingan yang lebih besar. Sedangkan Linggapati berpikir lain. Ia masih berusaha memperalat kita untuk kepentingannya.”

“Ya. Tetapi jika ternyata akan dapat saling menguntungkan, apakah kita juga akan berkeberatan?”

Tapak Lamba tidak menyahut. Memang semuanya masih akan dapat berkembang. Mungkin kali ini ia hanya akan sekedar diperalat. Tetapi pada suatu saat ia menemukan kesempatan yang baik. sehingga keadaan akan menjadi sebaliknya.

Tetapi Tapak Lamba masih selalu ragu-ragu. Nampaknya Linggapati terlampau yakin akan dirinya, sehingga ia sama sekali tidak gentar, apapun yang akan dilakukan oleh Tapak Lamba Karena itu, maka ia dengan tanpa ragu-ragu memberinya kesempatan untuk tetap hidup.

“Ah, persetan.” tiba-tiba ia menggeram, “Aku tidak akan dapat memecahkannya sendiri. Bukankah kita mempunyai kawan yang dapat diajak berbicara tentang hal ini?”

Kawannya mengangguk-angguk. Jawabnya, “Ya. Ada dua orang yang kini menunggu kita di rumahmu.”

“Bukan mereka.” tiba-tiba Tapak Lamba membentak, “Mereka tidak akan dapat diajak membicarakan masalah-masalah yang berat dan bersungguh-sungguh.”

Kawannya tidak menyahut. Ia menyadari bahwa kedua kawannya yang tinggal di rumah Tapak Lamba, bukanlah orang orang yang cukup penting. Bahkan ia bersama dengan kedua orang itu sama sekali tidak berhasil membunuh dua orang anak-anak yang masih sangat muda. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Namun tiba-tiba terlintas diangan-angannya, bahwa selain kedua anak-anak muda itu ternyata masih ada seorang lagi yang disebut oleh Linggadadi, yaitu Mahisa Bungalan.

Tapak Lamba menarik nafas dalam-dalam. Singasari memang menyimpan banyak orang-orang sakti. Bukan saja yang sudah menjadi semakin tua seperti Mahisa Agni, Witantra, dan Mahendra, tetapi yang muda pun telah tumbuh dengan pesatnya. Sudah barang tentu selain Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan yang disebut bernama Mahisa Bunggalan, kedua orang yang memegang kekuasaan tertinggi di Singasari pun tentu orang-orang yang pilih tanding. Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.

“Apakah di Mahibit terdapat orang-orang seperti mereka itu?” pertanyaan itu menggelepar di dalam dada Tapak Lamba.

Namun sekali lagi Tapak Lamba mengibaskan semua persoalan itu. Katanya kepada diri sendiri, “Aku harus membicarakannya dengan beberapa orang kawan.”

Demikianlah, maka Tapak Lamba pun mengajak kawannya itu kembali ke rumahnya. Di rumahnya, kedua orang yang menunggunya nampak sudah menjadi sangat gelisah.

“Aku kira kalian tidak akan kembali lagi.” berkata salah seorang dari mereka.

“Pikiran yang paling picik.” sahut Tapak Lamba, “Kami mungkin akan bermalam jika persoalan kami belum selesai.”

“O, jadi kedua anak-anak itu sudah berhasil kalian bunuh?”

“Gila. Apakah pembunuhan itu sajalah yang disebut penyelesaian?”

“O, aku tidak mengerti.” desis yang lain.

“Tentu kalian tidak akan segera mengerti, karena kalian terlampau bodoh.”

Kedua orang yang berada di rumah itu menjadi termangu mangu. Tetapi jawaban itu benar-benar tidak menyenangkan hati mereka. Karena itu, muka salah seorang dari mereka pun berkata, “Kau jangan asal saja berkata. Kami tidak mengetahui apa yang sudah kalian lakukan.”

“Mereka benar.” berkata kawan Tapak Lamba, “Beritahukan kepada mereka apa yang terjadi, baru mereka akan mengerti.”

Tapak Lamba menjadi tegang. Namun ketika terpandang olehnya tiga orang yang nampaknya benar-benar kebingungan, maka ia pun kemudian berkata, “Baiklah. Tetapi kau sajalah yang berceritera, apa yang telah kita alami.”

Orang yang ikut bersama Tapak Lamba itu pun kemudian menceriterakan kepada kedua kawannya, apa yang telah mereka alami.

Kedua kawannya itu mengangguk-angguk. Kemudian salah seorang dari keduanya bergumam, “Jadi kalian telah bertemu dengan Linggapati itu sendiri?”

“Demikianlah menurut pengakuannya. Yang seorang Linggadadi, adiknya, dan yang lain mengaku bernama Linggapati. Memang mungkin bahwa bukan kedua-duanya itulah Linggapati. Tetapi untuk sementara aku mempercayainya.”

Kedua kawannya termangu-mangu sejenak. Dan Tapak Lamba pun kemudian berkata, “Kau sudah mulai persoalan ini dengan langkah yang salah. Kita harus berusaha menemukan jalan yang benar, sesuai dengan keadaan yang berkembang di dalam dan di luar kota raja ini. Kebodohan itu tidak boleh terulang kembali.”

“Mungkin kami berbuat kebodohan. Tetapi kau pun berusaha melanjutkannya. Kau tentu mempunyai pertimbangan lain setelah kau bertemu dengan orang yang menyebut dirinya bernama Linggapati itu.”

Tapak Lamba mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun mengangguk-angguk.

“Mungkin. Dan kita sekarang harus mempertimbangkan semua tindakan kita sebaik-baiknya. Kita tidak berdiri sendiri. Karena itu, aku harus menemui beberapa orang bekas Senapati yang sekarang terbuang.”

“Bukan terbuang. Tetapi membuang diri. Bukankah tidak pernah ada pernyataan dari Ranggawuni dan Mahisa Cempaka, bahwa mereka harus disingkirkan? Tetapi merekalah yang dengan kehendak sendiri meninggalkan jabatannya dan bersembunyi, karena mereka menyangka bahwa akan ada pembalasan dendam. Tetapi ternyata sama sekali tidak.”

“Siapakah yang kau maksud dengan mereka? Apakah kau tidak termasuk di dalamnya.”

“Ya, termasuk aku, kau dan kita semuanya.”

Tapak Lamba mengangguk-angguk. Ia pun mengerti maksud kawannya itu. Sampai saat terakhir, ternyata bahwa Ranggawuni dan Mahisa Cempaka tidak pernah melakukan tindakan apapun terhadap mereka yang pernah menjadi pendukung Tohjaya. Hanya beberapa orang yang masih melakukan tindakan-tindakan yang agak aneh dan tidak bertanggung jawab, terpaksa diawasi dan diperlakukan sebagai orang-orang yang melanggar ketentuan dan kuwajiban seperti orang-orang lain.

Namun demikian, tidak ada niat sama sekali padanya untuk merubah pendiriannya. Ia sama sekali tidak tertarik untuk bekerja bersama dengan orang-orang yang telah menyingkirkan Tohjaya, karena baginya Tohjaya adalah tumpuan harapan.

“Jika tuanku Tohjaya berhasil menguasai Singasari dan menjadikan negeri ini tenang dan berkuasa, maka aku adalah seorang pimpinan di tingkat tertinggi dalam susunan keprajuritan.” berkata Tapak Lamba di dalam hati. Namun kemudian terbersit pertanyaan di dalam hati, “Tetapi siapakah yang akan dapat menjadi perisai bagi Kerajaan yang besar itu. Ternyata bahwa aku tidak mampu sama sekali menghadapi lawan yang menyebut dirinya bernama Linggadadi. Apalagi Linggapati. Jika Tohjaya berkuasa, maka setiap kali Kerajaan itu tentu akan selalu diguncang. Baik oleh Linggapati dan orang-orangnya, maupun oleh pengikut-pengikut Anusapati yang kemudian telah menempatkan diri di belakang Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.”

Tetapi Tapak Lamba pun kemudian tidak mau memikirkannya semua persoalan itu hanya dengan tiga orang kawannya yang bersembunyi di rumahnya. Karena itu, maka ia pun kemudian merencanakan untuk menemui kawan-kawannya yang lain, yang berpencaran di daerah yang tersembunyi dalam penyamaran masing-masing agar mereka tidak mudah dapat dikenal.

“Kita akan menemui kakang Sunggar Watang. Kita akan minta pendapatnya.” berkata Tapak Lamba kemudian.

“Aku sependapat. Marilah, kita segera menemuinya. Aku tahu tempat persembunyiannya.”

“Kau pernah ke tempat itu?”

“Tidak. Tetapi aku pernah mendapat petunjuk dari seseorang.”

“Tetapi sudah barang tentu kita tidak akan dapat pergi bersama. Prajurit disetiap pintu gerbang tentu mengawasi semua orang yang lewat. Yang masuk apalagi yang keluar setelah peristiwa yang terjadi, yang kalian lakukan dengan bodoh.”

“Ah.” salah seorang kawannya berdesah, “Jangan menyalahkan kami. Kau pun telah tertarik untuk melakukannya pula. Bahkan membunuh langsung di halaman istana. Bukankah kau sudah bertekad berbuat demikian. Malahan kau telah berjanji untuk memasuki halaman itu jika kau tidak dapat melakukannya dengan cara lain.”

Tapak Lamba mengangguk-angguk. Katanya, “Ternyata pendapat orang gila di muka gerbang itu benar juga. Jika aku membunuh kedua anak-anak yang tidak berarti itu, maka seluruh prajurit Singasari akan bersiaga dari ujung sampai ke ujung negeri. Dengan demikian kesempatan untuk berbuat lebih banyak lagi seolah-olah telah tertutup untuk waktu yang lama.”

“Mungkin demikian.” sahut salah seorang kawannya.

“Sekarang aku justru yakin. Mereka tentu bukan saja bersiaga. Tetapi mereka akan berusaha mencari pembunuhnya.”

“Dan yang pertama-tama menjadi sasaran pengintaian mereka adalah kita.”

“Seperti yang dikatakan Linggadadi.” berkata kawan Tapak Lamba yang ikut ke alun-alun di depan istana, “Nanti kau akan merasa bersyukur bahwa kau tidak membunuh kedua anak-anak itu.”

Tapak Lamba tersenyum, betapapun kecutnya. Ia pun kemudian mengangguk-angguk sambil berkata, “Baiklah. Semuanya akan kita sampaikan kepada kakang Sunggar Watang.”

“Jadi, bagaimana kita akan sampai ke tempat persembunyian itu?”

“Kita, pergi sendiri-sendiri. Dua atau lebih akan dapat menarik perhatian. Apalagi bertiga.”

“Baiklah. Kita masing-masing akan pergi sendiri langsung ke rumah kakang Sunggar Watang.”

Dengan demikian, maka mereka segera menyesuaikan pengenalan mereka atas tempat persembunyian Sunggar Watang. Dan mereka, telah menentukan waktu untuk bertemu di rumah itu.

“Kita akan berjalan justru di siang hari. Tidak banyak orang yang akan mencurigai kita.”

“Tetapi beberapa orang prajurit telah mengenal aku dengan baik. Bahkan ada di antara mereka adalah kawan sepasukanku dahulu.”

“Hindari mereka dan ambillah jalan lain. Jalan yang dijaga oleh prajurit-prajurit yang belum mengenal kita masing-masing, karena bukan hanya kau sajalah yang sudah dikenal oleh beberapa orang prajurit Singasari. Tetapi kami semuanya.”

Dengan demikian, mereka masih mempunyai waktu satu malam lagi yang dapat mereka pergunakan untuk melihat-melihat keadaan di dalam kota. Dengna sedikit penyamaran, mereka tidak segera dapat dikenal. Apalagi prajurit-prajurit muda yang bertugas.

Tetapi mereka tidak lagi berusaha untuk membuat keributan. Mereka hanya berjalan-jalan saja di antara orang-orang yang masih saja nampak sibuk. Apalagi di halaman istana, yang agaknya penyelenggaraan jenazah masih berlangsung, sebelum pada suatu saat jenazah itu akan diperabukan.

Namun, malam itu mereka sama sekali tidak mengalami sesuatu yang dapat merubah sikap dan tanggapan mereka terhadap Singasari dan orang-orang dari Mahibit. Bahkan sudah mulai terbayang kemungkinan-kemungkinan yang akan dapat terjadi kelak.

Demikianlah, ketika matahari terbit dipagi harinya, orang-orang itu pun telah mempersiapkan dirinya untuk pergi meninggalkan kota raja. Tetapi seperti yang telah mereka putuskan, mereka tidak dapat pergi bersama-sama, tetapi mereka pergi masing-masing berdua.

Ternyata mereka tidak dikenal oleh para petugas di perbatasan yang masih nampak sangat berhati-hati. Karena mereka masing-masing tidak membawa sesuatu yang mencurigakan, maka mereka pun dapat lewat tanpa gangguan apapun.

Di sepanjang perjalanan menuju ke tempat persembunyian seorang bekas Senapati pada masa pemerintahan Tohjaya, mereka pun tidak mendapat gangguan apapun. Apalagi ketika mereka telah menyimpang dari jalan raya dan memintas lewat jalan-jalan sempit. Bahkan kemudian mereka pun menerobos hutan kecil yang tidak begitu padat, sebelum mereka menginjakkan kakinya pada sebuah padukuhan kecil yang sangat terpencil.

Keempat orang itu pun telah bergabung kembali justru di pinggir padukuhan terpencil itu. Sejenak mereka terpukau melihat keadaan yang mereka hadapi. Bahkan kemudian tumbuhlah keragu-raguannya. Ketika mereka mendapat petunjuk tentang tempat persembunyian itu, yang apabila diperlukan setiap saat dapat mereka kunjungi, mereka sama sekali tidak membayangkan sebuah padukuhan yang hijau, segar dikelilingi oleh sawah yang subur.

“Aku kira yang akan aku jumpai adalah sebuah goa yang terdapat di lereng batu karang, atau jika tidak ada bukit-bukit karang, aku akan menjumpai beberapa buah gubug ilalang di antara semak-semak belukar.” berkata Tapak Lamba.

Yang lain pun mengangguk-angguk pula. Salah seorang dari mereka berkata, “Memang meragukan. Tetapi baiklah kita coba. Apakah benar penghuni padukuhan itu adalah orang yang kita cari.”

Dengan ragu-ragu keempat orang itu pun melangkah mendekati padukuhan terpencil itu.

Semakin dekat mereka dengan pintu gerbang padukuhan itu, mereka pun menjadi semakin ragu-ragu. Tidak ada persesuaian sama sekali dengan gambaran mereka tentang tempat persembunyian salah seorang kawan mereka yang mereka anggap cukup berpengalaman dan banyak mempunyai pengikut pada waktunya.

Langkah mereka tertegun ketika mereka seorang anak muda berjalan ke arah mereka dengan membawa cangkul yang disandang di pundaknya.

“Siapakah anak itu?” bertanya salah seorang dari ke empat orang itu.

Tapak Lamba menggelengkan kepalanya. Desisnya, “Semuanya menjadi kabur.”

Tapak Lamba dan kawan-kawannya membungkukkan kepala mereka, ketika anak muda itu membungkuk pula. Dengan ragu-ragu anak muda itu bertanya, “Siapakah Ki Sanak? Dan apakah Ki Sanak mempunyai keperluan sesuatu dipadukuhan kecil kami ini?”

Tapak Lamba ragu-ragu sejenak. Tetapi ia pun bertanya, “Anak muda, kami memang sedang mencari seseorang. Ia adalah saudara kami yang sudah lama tidak pernah bertemu.”

“O, apakah ia tinggal di padukuhan ini?”

“Agaknya demikian. Menurut petunjuk yang pernah diberikan kepada kami oleh pembantunya, maka ia tinggal di padukuhan ini. Kami mendapat petunjuk jalur-jalur jalan yang harus kami lalui. Sampai ke hutan yang baru saja kami lalui, kami tidak ragu-ragu sama sekali, karena seperti yang tersebut di dalam petunjuk itu. Tetapi setelah kami mendekati padukuhan ini, kami menjadi ragu-ragu. Saudara kami itu tidak pernah menyebut tentang sebuah pedukuhan yang kecil dan alangkah bersih dan rapinya.”

Anak muda itu mengangguk-angguk. Lalu ia pun bertanya, “Siapakah yang Ki Sanak cari.”

“Anak muda. Kami mencari saudara kami yang bernama.” Tapak Lamba menjadi ragu-ragu. Ia menduga bahwa Sunggar Watang tentu mempergunakan nama lain di persembunyiannya, seperti dirinya sendiri yang kemudian dikenal bernama Tapak Lamba.

“Siapakah namanya?”

Tapak Lamba tidak segera menjawab. Sekali-sekali ia memandang ketiga orang kawannya yang nampaknya juga sedang kebingunan.

Namun tiba-tiba saja Tapak Lamba menyebut nama, “Kuda Wangon. Namanya Kuda Wangon.”

Anak muda itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun menggeleng sambil berkata, “Tidak ada seorang pun yang bernama Kuda Wangon.”

“Baiklah, baiklah Anak muda.” berkata Tapak Lamba kemudian, “Barangkali nama itu pun tidak begitu penting. Ia mempunyai beberapa nama sesuai dengan jabatan yang pernah dipangkunya. Tetapi barangkali kau melihat seseorang yang mempunyai ciri-ciri yang khusus. Tubuhnya tidak begitu tinggi. Tetapi ia berjalan tegap dengan dada tengadah. Matanya tajam, daun telinganya agak lebih lebar dari ukuran biasa. Bibirnya tipis. Rambutnya kerinting.”

Anak muda itu justru menjadi bingung. Lalu katanya, “Ki Sanak, sebaiknya, marilah kita pergi ke rumah Ki Buyut. Barangkali Ki Buyut dapat memberitahukan siapakah orang yang mempunyai ciri-ciri seperti yang Ki Sanak katakan itu.”

Tapak Lamba ragu-ragu sejenak. Namun akhirnya ia menganggukkan kepalanya, “Baiklah. Marilah kami ikut ke rumah Ki Buyut yang kau sebut itu.”

Anak muda itu pun kemudian berjalan mendahului, diikuti oleh Tapak Lamba dengan ketiga kawannya. Namun demikian memang ada sepercik keragu-raguan yang bergejolak di dalam hati mereka. Apakah mereka akan benar-benar dapat bertemu dengan orang yang sedang mereka cari.

Dengan ragu-ragu Tapak Lamba berjalan bersama kawahnya memasuki padukuhan yang asing itu. Padukuhan yang meskipun kecil namun tampak bersih dan teratur rapi.

“Pemimpinmu adalah seorang yang rajin.” berkata Tapak Lamba kepada anak muda itu.

“Ya. Ia mengawasi sendiri keadaan padukuhan ini.” jawab anak muda itu.

“Apakah ia seorang yang keras?”

“O tidak. Sama sekali tidak. Ia adalah orang yang ramah dan baik hati. Barangkali ia adalah orang yang paling sabar dimuka bumi ini menghadapi persoalan apapun juga.”

Tapak Lamba ragu-ragu sejenak, lalu, “Apakah di padukuhan ini tidak ada seorang pemarah dengan ciri-ciri tubuh seperti yang aku katakan? Ciri-ciri tubuh memang kadang-kadang tidak segera dapat dikenal. Tetapi ciri-ciri watak semacam itu agaknya mudah diketahui oleh orang lain.”

Anak muda itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia menggeleng sambil berkata, “Sepengetahuanku tidak ada orang yang berwatak demikian di padukuhan ini. Kami hidup rukun, tenang dan damai. Kami dapat saling memegang perasaan dalam keadaan yang bagaimanapun juga.”

Tapak Lamba menarik nafas dalam-dalam. Ia membayangkan bahwa padukuhan itu adalah padukuhan baru dengan penghuni-penghuni baru dari berbagai tempat yang kemudian menyusun suatu masyarakat yang baik sekali.

Apalagi ketika Tapak Lamba dan kawan- kawannya itu mulai menyusuri jalan-jalan di padukuhan itu.

Namun keempat orang itu menjadi ragu-ragu ketika nampak dihadapan mereka sebuah pintu gerbang. Pintu gerbang yang memisahkan bagian yang belum dapat diduganya.

“Itulah rumah Ki Buyut.” berkata anak muda yang mengantarnya ketika ia melihat Tapak Lamba dan kawan-kawannya menjadi ragu-ragu.

“Ada dua gerbang di padukuhan ini.” berkata Tapak Lamba, “Yang sebuah pintu gerbang padukuhan, dan yang justru lebih besar pada dinding batu yang lebih tinggi, adalah pintu gerbang rumah dan halaman Ki Buyut.”

“Ya.” sahut anak muda itu, “Ki Buyut adalah seorang pemimpi. Ia kadang-kadang membayangkan sebuah daerah yang lengkap seperti sebuah kota raja. Di tengah-tengahnya terdapat sebuah istana yang dilingkari dengan benteng batu yang tinggi. Tetapi pintu gerbang itu tidak pernah tertutup bagi siapapun juga. Meskipun seolah-olah Ki Buyut membangun tempat tinggalnya yang terpisah dari masyarakatnya, tetapi sebenarnya Ki Buyut adalah orang yang paling baik, ramah dan mengerti kebutuhan rakyatnya dengan baik.”

Tapak Lamba mengangguk-angguk. Tetapi ia mulai dihinggapi oleh perasaan yang lain. Meskipun demikian ia tidak menunjukkan kesan-kesan apapun ketika ia melangkah semakin dekat dengan pintu gerbang itu.

Sekali-sekali Tapak Lamba sempat juga memandangi rumah dan halaman ditepi jalan yang mebelah padukuhan itu. Tapak Lamba dapat menduga bahwa orang-orang yang tinggal dipadukuhan itu bukanlah orang-orang yang kaya. Mereka hidup sederhana sekali. Tetapi padukuhan yang kecil yang sederhana ini agaknya. dapat diatur sebaik-baiknya sehingga nampak suatu hubungan yang baik dan serasi.

Namun demikian, terasa sesuatu bergetar di dalam dada Tapak Lamba dan kawan-kawannya ketika mereka memasuki pintu gerbang yang terbuka lebar itu. Pintu gerbang yang agaknya memang tidak pernah tertutup. Dan getar dada Tapak Lamba dan kawan-kawannya itu menjadi semakin bergejolak ketika ia melihat dua orang yang duduk diam di tangga pendapa rumah Ki Buyut itu.

“Mereka adalah juru taman.” berkata anak muda itu.

Tapak Lamba hanya menganggukkan kepalanya saja. Namun dalam pada itu, tatapan matanya pun ditebarkannya di sekeliling halaman yang luas dan bersih itu.

“Tetapi ada sesuatu yang aneh.” berkata Tapak Lamba di dalam hatinya. “Bekas sapu lidi di halaman itu nampaknya masih utuh. Agaknya belum ada seorang pun yang memasuki halaman ini, atau jika ada, hanya satu dua orang saja.” Tapak Lamba menjadi kian berdebar-debar. Menurut dugaannya, halaman itu tentu dibersihkan dipagi dan sore hari. Maka katanya pula di dalam hati, “Jadi sejak pagi belum ada, atau belum banyak orang yang memasuki halaman ini.”

Menurut pengertian Tapak Lamba, di hampir setiap padukuhan, rumah Ki Buyut merupakan pusat dari setiap kegiatan. Anak-anak muda, orang-orang tua dan bahkan anak-anak banyak yang setiap saat berada di halaman rumahnya. Tetapi halaman rumah Ki Buyut ini nampaknya terlampau sepi.

“Marilah.” berkata anak muda itu sambil menunjukkan sebuah regol kecil disisi pendapa, “Ki Buyut berada di belakang.”

“Apakah kami juga harus ke belakang?” bertanya Tapak Lamba.

“Ya. Ki Buyut menerima tamunya di belakang.”

Tapak Lamba yang termangu-mangu itu pun semakin dibayangi oleh keragu-raguan yang bertambah dalam. Karena itu, maka ia pun kemudian berkata. “Aku menunggu di luar saja Ki Sanak. Tolong, sampaikan kepada Ki Buyut, bahwa aku ingin menghadap. Tetapi tidak dibelakang.”

“Ah.” anak muda itu tersenyum. “Ki Sanak memang aneh. Itu adalah suatu kebiasaan.”

“Jadi, Ki Buyut yang ramah, baik hati dan sabar itu tidak pernah keluar dari bagian belakang rumahnya? Bagaimana ia dapat selalu dekat dan mengerti kebutuhan rakyatnya jika ia selalu berada di bagian belakang rumahnya saja.”

Anak muda itu mengerutkan keningnya. Tetapi ia pun kemudian tersenyum sambil berkata, “Kau memang aneh Ki Sanak. Kebiasaan itu adalah kebiasaan pada saat-saat Ki Buyut menerima tamu. Tetapi pada saat yang lain, ia selalu pergi mengelilingi padukuhannya. Bukankah sudah aku katakan, bahwa Ki Buyut sangat teliti dan lebih dari itu, sangat mencintai padukuhan ini? Kau sendiri melihat, bahwa padukuhanku adalah padukuhan yang termasuk cukup bersih, meskipun masih banyak padukuhan yang melampaui padukuhan ini.”

Tapak Lamba masih termenung di tempatnya. Anak muda itu memang rendah hati. Tetapi sikap yang berlebihan itu justru menimbulkan kecurigaan padanya.

“Aku telah tertipu oleh sikap Linggadadi.” Berkata Tapak Lamba di dalam hatinya, “Sekarang aku harus berhati-hati menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang lain.”

Keragu-raguan itu bukan saja membayang di wajah Tapak Lamba, tetapi ketiga kawannya pun menjadi cemas pula.

“Ki Sanak.” berkata Tapak Lamba kemudian, “Baiklah. Jika Ki Buyut tidak mau menerima kami di luar kebiasaannya, maka kami akan mohon diri. Kami akan melanjutkan perjalanan mencari saudara kami itu. Mungkin ia memang tidak tinggal di padukuhan ini. Karena itu, biarlah kami mencarinya ke padukuhan yang lain.”

“Jadi Ki Sanak mengurungkan niat Ki Sanak menghadap Ki Buyut?”

“Sebenarnya bukan begitu. Tetapi apa boleh buat. Jika kebiasaan Ki Buyut menerima tamu di bagian belakang rumahnya, setelah melalui regol yang bersusun, dan yang terakhir adalah regol samping yang selalu tertutup itu, maka adalah kebiasaanku untuk diterima oleh siapa pun di pendapa.”

“Tetapi rumah ini adalah rumah Ki Buyut. Kaulah yang harus menyesaikan dirimu.”

“Jika kita akhirnya tidak juga dapat sesuai, maka aku kira lebih baik aku pergi. Aku tidak ingin mengganggu Ki Buyut dengan kebiasaannya itu.”

“Ki Sanak sudah memasuki halaman ini. Ki Sanak harus bertemu dengan Ki Buyut.” tiba-tiba wajah anak muda itu menjadi lebih garang.

Tapak Lamba mulai yakin, bahwa ia telah tersesat ke dalam suatu keadaan yang tidak dikehendakinya. Anak muda, itu tentu bukan anak muda yang ramah dalam sikap yang jujur. Karena itu, maka ia pun bergeser mendekati kawan-kawannya. Dengan isyarat ia mengajak kawan-kawannya untuk berhati-hati.

Dalam pada itu. Tapak Lamba menjadi semakin berdebar-debar ketika ia melihat dua orang yang duduk diam ditangga pendapa itu pun telah berdiri. Dengan langkah yang malas keduanya pergi ke pintu gerbang yang terbuka.

Tetapi Tapak Lamba adalah bekas seorang Senapati, sehingga ia pun secara naluriah dapat mengerti, bahwa kedua orang itu bermaksud untuk menjaga agar mereka yang sudah memasuki halaman itu tidak akan keluar lagi.

“Ki Sanak.” berkata anak muda itu, “Maaf jika mungkin Ki Sanak tidak menyangka, bahwa Ki Sanak harus mematuhi peraturan yang berlaku di padukuhan ini.” ia berhenti sejenak, lalu, “Seseorang yang telah memasuki padukuhan kami, memang tidak akan dapat keluar lagi tanpa ijin khusus dari Ki Buyut. Karena itu, jika Ki Sanak masih ingin keluar dengan selamat, aku persilahkan Ki Sanak menjumpai Ki Buyut. Keputusan terakhir memang berada di tangan Ki Buyut.”

Terasa jantung Tapak Lamba menjadi semakin cepat bergetar. Tetapi ia berusaha untuk menyembunyikannya dari kesan yang tersirat di wajahnya. Bahkan ia masih sempat tertawa sambil berkata. “Ki Sanak. Sebenarnya aku tidak terkejut sama sekali. Keramahanmu memang berlebih-lebihan anak muda, sehingga justru karena itu timbullah niatku untuk melihat, apakah yang ada di padukuhan ini. Jika kemudian Ki Sanak ingin memaksakan ketentuan yang aneh itu, sudah barang tentu, bahwa aku pun berhak untuk menolak.”

Anak muda itu mengerutkan keningnya. Agaknya ia menjadi heran melihat sikap Tapak Lamba yang tetap tenang. Demikian juga ketiga kawannya itu.

“Ki Sanak, apakah Ki Sanak terlampau yakin akan kemampuan Ki Sanak, sehingga dengan tenang Ki Sanak mendengarkan penjelasanku?”

“Bukan begitu.” jawab Tapak Lamba, “Aku adalah seseorang yang tidak berarti apa-apa. Tetapi bukankah setiap orang berhak menentukan sikap, jika ia berani mempertanggung jawabkannya? Mungkin aku akan ditangkap dan dihukum. Tetapi jika aku sudah bersedia menjalaninya, apa salahnya?”

Dalam pada itu, kedua orang yang melangkah kepintu regol, telah berdiri di sebelah menyebelah sambil menyilangkan tangan di dadanya. Namun pembicaraan antara anak muda dan Tapak Lamba itu agaknya sangat menarik perhatiannya, sehingga mereka pun nampak mengerutkan keningnya.

Apalagi, ketika kemudian Tapak Lamba berkata kepada kawannya, “He, bukankah kau juga tidak ingin pergi ke belakang. Biarlah aku berbicara dengan anak muda ini. Barang kali kau dapat mencari kawan berbicara yang lain.”

Ketiga orang itu termangu-mangu sejenak. Namun mereka pun kemudian menyadari maksud Tapak Lamba. Dua di antara mereka pun kemudian bergeser surut. Salah seorang menyahut, “Baiklah. Aku akan mencari kawan berbincang di regol itu.”

Sikap Tapak Lamba dan kawan-kawannya sungguh-sungguh mengherankan bagi anak muda itu. Nampaknya mereka tetap tenang menghadapi keadaan yang seharusnya tidak mereka duga lebih dahulu. Bahkan langkah kedua kawan Tapak Lamba yang pergi ke regol itu pun tidak ubahnya seperti langkah kedua orang yang telah lebih dahulu berdiri di sebelah menyebelah regol itu.

Sikap dan tingkah laku Tapak Lamba dan ketiga kawannya itu memang tidak pernah dilihat sebelumnya oleh anak muda yang membawa mereka ke halaman itu. Biasanya setiap orang yang sudah berada di halaman itu menjadi gemetar, dan tanpa dapat menolak lagi, mereka pun akan pergi kebelakang. Seterusnya, orang yang sudah memasuki pintu kecil di samping pendapa dan sampai ke bagian belakang dari halaman yang disekat oleh dinding batu itu, tidak akan pernah keluar lagi, selain yang ditunjuk khusus oleh Ki Buyut.

Tetapi sekali ini, orang yang menyebut dirinya Tapak Lamba, dengan tenang menghadapi sikap dan perlakuannya.

“Nah anak muda.” berkata Tapak Lamba kemudian, “Apakah kau tetap pada sikapmu, bahwa aku harus menghadap Ki Buyut? Jika demikian, maka aku akan terpaksa lari dari halaman ini tanpa minta diri lagi.”

Anak muda itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Ternyata aku terlampau bodoh. Sikapmu yang terlalu ramah itu pun berbahaya. Bukankah kau mengatakan demikian tentang aku. Agaknya kau sendiri bersikap demikian.”

“Jika demikian, kita masing-masing adalah orang-orang yang berbahaya. Karena itu, sebaiknya kita tidak bertemu dan tidak mempersoalkan sesuatu. Sebab jika kita masih harus mempersoalkan sesuatu, apalagi kau ingin memaksakan kehendakmu atasku, maka tidak akan dapat dielakkan lagi, bahwa kita masing-masing akan mempergunakan kekerasan.”

“Kau tidak bersenjata.” berkata anak muda itu, “Sedangkan dalam sekejap aku dapat memanggil beberapa puluh orang bersenjata dan terlatih mempergunakan senjatanya.”

“Tidak ada salahnya. Mereka akan mengeroyok aku dan barangkali aku terbunuh di halaman ini. Itu bukan soal bagi kami. Tetapi kami sudah mempertahankan kehormatan dan hargai diri kami.” ia berhenti sejenak, lalu, “Atau barangkali kita memang harus berlomba lari. Aku mungkin memiliki kemampuan lari yang cukup baik.”

Anak muda itu nampaknya menjadi tidak sabar lagi. Tetapi ia masih tetap ragu. Apalagi ketika ia melihat dua orang lawan Tapak Lamba masing-masing sudah berdiri dekat kedua orang yang berdiri di sebelah menyebelah regol. Jika mula-mula mereka nampaknya tenang dan acuh tidak acuh, bahwa berdiri seperti patung, kini nampak keduanya menjadi gelisah.

Tapak Lamba dan kawan-kawannya adalah bekas prajurit Singasari meskipun khususnya prajurit yang dibentuk untuk melindungi Maharaja yang hanya memerintah beberapa saat saja. Namun justru mereka adalah prajurit-prajurit pilihan.

Namun demikian sekilas terlintas di dalam angan-angan Tapak Lamba, “Menghadapi Linggadadi, aku tidak mampu berbuat apa-apa. Tetapi orang ini tentu tidak sedahsyat Linggadadi dan Linggapati.”

Dalam pada itu, maka keadaan pun menjadi semakin tegang. Anak muda yang ingin memaksa Tapak Lamba untuk memasuki pintu disebelah pendapa itu pun akhirnya tidak dapat bersabar lagi.

Dengan wajah tegang ia berkata, “Ki Sanak. Kau tidak mempunyai pilihan lain. Kau memang akan mati di halaman ini. Mau atau tidak mau menemui Ki Buyut di belakang.”

Tapak Lamba surut selangkah. Ia pun tahu bahwa tidak ada pilihan lain yang dapat dilakukan. Karena itu, maka ia pun mempersiapkan dirinya sebaik-baiknya menghadapi setiap kemungkinan yang bakal datang. Dengan tajamnya ia memandang arah tatapan mata anak muda yang berdiri tegang di hadapannya.

Ketika anak muda itu memandang kepada kedua kawannya yang berdiri di regol dan dengan jarinya ia memberikan isyarat, maka Tapak Lamba pun berteriak, “Awas, agaknya kedua patung itu akan berbuat sesuatu atas kalian.”

Sebenarnyalah memang demikian. Kedua orang yang semula berdiri saja sambil menyilangkan tangannya itu, tiba-tiba saja telah meloncat menyerang dua orang yang telah mendekatinya dengan sikap acuh tidak acuh itu.

Tetapi kedua orang itu pun adalah bekas prajurit yang memiliki kemampuan untuk bertempur. Karena itu, maka serangan itu pun dengan mudah dapat mereka elakkan. Bahkan dalam sekejap kemudian, keduanya telah menyerang kembali dengan dahsyatnya.

“Barangkali memang itulah yang kau kehendaki.” berkata Tapak Lamba.

Anak muda itu akan menjawab. Tetapi agaknya kawan Tapak Lamba yang seorang sudah tidak bersabar lagi. Tiba-tiba ia pun telah menyerang anak muda itu tanpa diduga-duga terlebih dahulu.

Anak muda itu pun tidak menduga, bahwa serangan itu datang demikian cepat dan tiba-tiba. Karena itu, ia tidak sempat mengelakkan diri. Yang dapat dilakukan adalah menangkis serangan itu, sehingga dengan demikian sebuah benturan telah terjadi.

Tetapi, kawan Tapak Lamba mendapat kesempatan lebih baik ia menyerang dengan menjulurkan kakinya lurus ke samping menghantam lambung, sedang anak muda itu menangkis serangan itu dengan sikunya sambil sedikit merendahkan dirinya.

Benturan yang tidak diduga itu ternyata telah melemparkan anak muda itu beberapa langkah. Bahkan ia pun kemudian jatuh terguling.

Kawan Tapak Lamba tidak menduga, bahwa anak muda itu memiliki kekuatan yang cukup besar untuk mendorongnya selangkah surut. Karena itu, maka ia pun terkejut meskipun ia tidak mengalami cidera apapun juga.

Dengan kemarahan yang membakar dadanya, ia pun segera memburu anak muda yang sedang melenting untuk berdiri. Namun agaknya anak muda itu pun cukup lincah, sehingga ia masih sempat menyiapkan diri menghadapi serangan berikutnya.

Tetapi serangan kawan Tapak Lamba itu datangnya bagaikan sambaran guntur dilangit yang mendung. Meskipun anak muda itu telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya, namun ketika sekali lagi terjadi benturan, maka anak muda itu terpelanting sekali lagi beberapa langkah surut. Sedang kawan Tapak Lamba itu harus meloncat selangkah mundur.

Tapak Lamba menyaksikan perkelahian itu dengan kerut merut dikeningnya. Namun tiba-tiba saja timbullah pertimbangan yang melonjak sesaat. Lawan yang akan dihadapinya tentu bukan hanya ketiga orang itu. Bukan hanya anak muda itu bersama dua orang yang bertempur di sebelah menyebelah pintu gerbang.

Karena itulah, maka ia pun dengan cepat telah mengambil keputusan. Ia harus mengurangi lawan sebanyak-banyaknya dalam waktu yang sesingkat mungkin.

Karena itulah, maka ia tidak memberikan kesempatan lagi kepada anak muda itu. Ketika anak muda yang terpelanting itu mencoba memperbaiki kedudukannya, sedang lawannya masih belum siap untuk menyerang, Tapak Lamba lah yang mengambil alih. Ialah yang kemudian menyerang dengan sepenuh kekuatan. Kekuatan seorang bekas Senapati yang mumpuni. Yang memiliki kekuatan melampaui kawannya yang telah berhasil melontarkan anak muda itu.

Serangan itu ternyata benar-benar telah melumpuhkan lawannya. Selagi anak muda itu memperbaiki kedudukannya, ia tidak sempat berbuat sesuatu. Ia melihat, tiba-tiba saja kaki Tapak Lamba telah menjulur lurus menghantam dadanya.

Serangan itu rasa-rasanya telah merontokkan tulang-tulang iganya. Nafasnya serasa terhenti, dan matanya menjadi berkunang-kunang. Namun dalam kesadarannya yang terakhir, ia masih sempat meneriakkan isyarat bagi kawan-kawannya yang lain, yang memang sudah diduga oleh Tapak Lamba berada di balik pintu disebelah menyebelah pendapa itu.

Namun dalam pada itu, Tapak Lamba tidak meluangkan setiap kesempatan. Ditinggalkannya anak muda yang pingsan itu, dan berlari ke regol halaman sambil berkata kepada lawannya, “Kita lumpuhkan pula keduanya.”

Kawannya yang telah kehilangan lawan itu pun segera mengerti maksud Tapak Lamba. Ia pun segera mengikutinya menuju kepintu gerbang.

Kedua orang yang berjaga-jaga di pintu gerbang, dan yang telah berkelahi dengan kedua kawan Tapak Lamba yang lain itu pun bukan orang-orang yang memiliki ilmu yang sempurna. Ternyata bahwa keduanya bukan orang yang lebih baik dari kedua kawan Tapak Lamba, sehingga dengan demikian mereka pun telah terdesak sama sekali. Apalagi ketika tiba-tiba saja Tapak Lamba dan seorang kawannya datang membantu.

Pada saat itu, pintu di sebelah menyebelah pendapa itu pun segera terbuka. Seperti yang sudah diduga, beberapa orang keluar dari bagian belakang halaman itu dengan senjata di tangan masing-masing.

Namun saat yang pendek itu, ternyata telah dapat d:pergunakan oleh Tapak Lamba dengan sebaik-baiknya. Ia masih sempat menghantam kedua orang lawannya itu sehingga keduanya terlempar dan pingsan seketika.

Tetapi dalam sekejap kemudian, beberapa orang bersenjata telah menebar di seluruh halaman. Dengan wajah yang jauh berbeda dengan wajah anak muda yang telah pingsan itu, maka delapan orang yang berwajah sekeras batu padas, telah siap untuk menyerang.

Namun Tapak Lamba masih tetap tenang. Bahkan ia masih dapat berkata dengan nada rendah dan datar, “Ambillah senjata kedua orang itu. Pergunakan sebaik-baiknya, sebelum kita berempat akan mati dicincang di sini. Tetapi sebelum kita mati, sedikit-dikitnya empat orang lawan pun harus mati lebih dahulu.”

Kedua kawannya yang semula bertempur melawan dua orang yang pingsan itu pun segera mendekati mereka. Ternyata kedua orang itu mengenggam senjata yang aneh pada kedua belah tangannya.

“Keling.” desis salah seorang kawan Tapak Lamba.

“Ya. Masing-masing membawa sepasang. Bukankah dengan demikian kita masing-masing mendapat satu.”

Kedua kawannya mengangguk-angguk. Mereka pun dengan tenang mengambil keempat keling pada dua pasang tangan orang yang pingsan itu.

“Keling yang sangat bagus.” berkata Tapak Lamba ketika ia menerima keling itu, “Dengan keling ini kita dapat menangkis serangan pedang atau bindi yang bagaimanapun beratnya, karena sebenarnyalah keling ini terbuat dari baja pilihan.”

“Setan atas.” geram salah seorang yang baru saja keluar dari halaman bagian belakang itu, “Kalian dengan sengaja telah menimbulkan kerusuhan di sini.”

“Bukan aku, tetapi anak muda itu.” jawab Tapak Lamba, sambil menunjukkan anak muda yang pingsan itu.

“Sekarang kalian harus mati.” geram orang itu.

Tetapi Tapak Lamba justru tertawa. Katanya, “Aku sudah mengatakannya, bahwa kalian akan membunuh aku. Tetapi aku pun akan membunuh kalian. Setidak-tidaknya empat di antara kalian. Ditambah lagi orang yang telah lebih dahulu pingsan. Tetapi agaknya mereka pun tidak akan pernah sadarkan diri lagi.”

Delapan orang yang telah menebar di halaman itu menjadi bertambah tegang. Mereka memandang Tapak Lamba dan kawan-kawannya dengan tajamnya. Salah seorang dari mereka pun melangkah maju sambil berkata, “He orang gila. Kenapa kau telah menimbulkan keonaran di sini? Apakah keuntunganmu dengan berbuat demikian?”

Tetapi Tapak Lamba tertawa. Jawabnya, “Pertanyaan inilah yang gila. Seolah-olah kau tidak tahu apa yang telah terjadi dengan kami dan kawan-kawanmu yg pingsan itu. Aku tidak tahu, apakah gunanya pertanyaanmu itu.”

“Persetan.” geram orang itu, yang telah berdiri beberapa langkah dari Tapak Lamba, “Agaknya aku memang berhadapan dengan orang gila karena itu, jangan menyesal. Kami benar-benar akan membunuhmu.”

Tapak Lamba yang mempunyai pengalaman menghadapi keadaan yang gawat, selagi ia menjadi seorang Senapati, memperhitungkan keadaan sejenak. Ia mengerutkan keningnya, ketika orag yang berdiri dihadapannya itu membentak, “Menyerahlah. Mungkin masih ada pertimbangan lain.”

“Jika kami menyerah, maka kami benar-benar telah gila. Karena itu, kami tidak akan menyerah.”

“Dengan demikian akan berarti bahwa kalian akan kami bunuh dengari cara yang paling mengerikan.”

Ternyata Tapak Lamba tidak terlalu banyak berbicara lagi. Tanpa diduga-duga ia sudah mulai bertindak, karena menurut perhitungannya, lawannya kali ini tentu jauh lebih kuat dari dirinya bersama tiga orang kawannya.

Kawan itu, sebelum orang yang berbicara itu mempersiapkan dirinya, Tapak Lamba sudah mendahuluinya menyerang dengan segenap kemampuan yang ada. Ia meloncat seperti loncatan tatit di udara. Tangannya yang mempergunakan keling, terjulur lurus mengarah kedada orang yang masih belum bersiaga itu.

Serangan yang tiba-tiba itu benar-benar telah mengejutkan. Sebelum orang itu menyadari keadaan, tiba-tiba saja ia telah melihat Tapak Lamba meloncat.

Serangan itu datang demikian cepatnya. Tidak ada waktu untuk memperhitungkan apapun juga sehingga yang dilakukan adalah semata-mata gerak naluriah saja.

Tetapi gerak naluriah itu tiada banyak menolongnya, karena gerak yang demikian, justru sudah diperhitungkan oleh Tapak Lamba.

Dengan demikian, maka ketika orang itu bergeser kekiri serangan Tapak Lamba pun telah bergeser pula. Meskipun tidak tepat mengenai dadanya, maka serangan itu telah menghantam pundaknya.

Ternyata serangan Tapak Lamba yang dilontarkan dengan sepenuh kekuatannya itu, telah membentur pundak lawannya bagaikan sambaran halilintar. Perasaan panas dan pedih telah menyengat pundaknya, dan rasa-rasanya tulang-tulangnya telah retak karenanya.

Yang menghantam pundak itu kekuatan Tapak Lamba yang dilandasi sepotong besi baja di dalam genggaman. Karena itu, maka akibatnya pun seolah-olah sudah menentukan. Tangan orang itu bagaikan lumpuh seketika, dan seluruh kekuatannya bagaikan terhisap oleh perasaan sakit yang tiada taranya itu.....

Bersambung.....!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"SURODIRO JOYONINGRAT, LEBUR DENING PANGASTUTI"

Kata-kata "SURO DIRO JOYONINGRAT LEBUR DENING PANGASTUTI" itu bersal dari tembang kinanthi ronggo warsito: Jagra angkara winangun ...