*SEPASANG ULAR NAGA DI SATU SARANG : 19-02*
Karya. : SH Mintardja
“Dimana kita mengambil korban itu?” tiba-tiba saja Paguh bertanya, “Diujung padukuhan itu kita dapat menunggu satu dua orang lewat.”
“He, bukankah kita baru berjalan setengah hari?” bertanya seorang kawannya.
“Apakah kita belum cukup jauh?”
“Sama sekali; belum. Kita akan berjalan sehari semalan. Baru keesokan harinya kita menangkap satu dua orang yang pantas kita jadikan persembahan kepada pelindung ilmu kita yang agung.”
Paguh mengangguk-angguk. Tetapi ia sudah tidak menaruh kecurigaan sama sekali.
Dengan demikian mereka meneruskan perjalanan meskipun tidak terlampau cepat. Tetapi jasmaniah mereka adalah orang yang kuat oleh latihan-latihan yang berat. Karena itulah maka mereka sama sekali tidak nampak letih setelah menempuh perjalanan yang jauh.
Mereka pun kemudian tidak lagi melintasi hutan-hutan yang rindang maupun yang lebat, karena mereka memilih menyusuri jalan yang cukup banyak dilalui orang.
“Meskipun kita masih belum berjalan satu hari satu malam, jika kita menjumpai satu dua orang yang pantas, maka kita akan menangkapnya.” desis salah seorang dari kelima orang itu.
“Kita hanya memerlukan satu orang.” desis Paguh.
“Tidak. Semakin banyak semakin baik. Jika kita mendapatkan beberapa orang sekaligus, maka purnama naik di bulan depan kita tidak usah mencarinya lagi.”
“Jika kita dapat memeliharanya sampai bulan depan.” Yang lain tidak menjawab. Tetapi mereka berjalan terus menuju kota yang lebih ramai.
“Kita menuju ke kota.” desis Paguh kemudian, “Apakah kita akan mencari korban kita di dalam kota?”
“Bukankah kita dapat memilih lebih baik.” sahut kawannya, “Kali ini kita memasuki sebuah kota kecil. Lain kali kita akan memilih korban kami ke Kota Raja.”
“Kita mencari kesulitan saja.” desis Paguh.
Kawannya mengerutkan keningnya. Mereka bertanya kepada diri sendiri. “Apakah Paguh memang seorang pengecut.”
Tetapi mereka tidak mengucapkan pertanyaan itu.
Demikianlah mereka pun berjalan terus. Sekali-sekali mereka berhenti untuk beristirahat. Bahkan ketika malam menjadi gelap maka mereka pun tidak segan-segan memasuki rumah-rumah yang mereka duga dapat memberikan makan kepada mereka. Dengan paksa mereka mengambil apa saja yang dapat mereka jadikan bekal mereka di perjalanan. Adalah menyenangkan sekali jika pada suatu saat mereka menemukan sebuah warung makanan yang masih terbuka pintunya sesudah senja.
Tidak seorang pun berani melawan mereka berlima. Meskipun orang-orang yang menjadi korban itu tidak mengetahui siapakah mereka itu, namun menilik sikap dan tatapan mata mereka maka orang-orang itu pun mengerti, bahwa mereka dihadapkan pada kekerasan jika mereka melawan.
Di malam hari mereka hanya beristirahat sebentar. Masing-masing mencoba memejamkan matanya hanya untuk sesaat. Kemudian mereka pun segera terbangun dan meneruskan perjalanan. Menurut perhitungan mereka, maka perjalanan kembali tentu akan memerlukan waktu lebih panjang, karena mereka akan membawa satu atau dua orang dengan paksa. Sedangkan waktu tinggal sedikit. Lima hari sejak mereka berangkat.
“Kita akan tiba kembali di padepokan paling lambat sehari sebelum saat itu tiba.” berkata salah seorang dari mereka, “Orang-orang yang akan kita bawa tentu tidak akan dapat berjalan secepat dan sekuat kita.”
“Ya. Besok kita harus mendapatkan orang itu. Dan kita akan segera menempuh perjalanan kembali.” sahut yang lain.
Ternyata bahwa perjalanan mereka cukup cepat. Sebelum langit menjadi merah, mereka sudah berada di kota kecil yang pertama mereka lalui.
“Kita masih sempat beristirahat.” desis salah seorang.dari kelima orang itu.
“Bagaimana kita akan menangkap korban kita?” desis yang lain.
“Kita tangkap saja mereka. Jika perlu kita pergunakan kekerasan.”
“Dihadapan orang banyak.”
“Apa salahnya? Kita akan membunuh mereka yang melawan. Dan kita tentu akan mendapatkan yang masih hidup diantara sekian banyak orang.”
“Apakah kota itu tidak mempunyai pengawal?”
“Tetapi mereka tidak berarti. Prajurit Singasari tidak akan sampai ke tempat terpencil ini.”
Kawannya tidak menyahut. Tetapi mereka mengangguk-angguk. Meskipun agak ragu, namun mereka percaya, bahwa prajurit Singasari tidak akan ditugaskan di dalam kota kecil yang masih agak jauh dari Kota Raja itu.
Demikianlah kelima orang itu pun kemudian beristirahat dip inggir kota kecil yang masih samar-samar. Di beberapa rumah yang berdiri di pinggir jalan, masih nampak cahaya lampu minyak yang menyala di regol halaman.
Tetapi jalan-jalan yang menyilang kota kecil itu ternyata sudah mulai dijalari oleh beberapa orang yang membawa barang-barangnya menuju ke pusat keramaian kota.
“Mereka pergi ke pasar.” desis Paguh kepada kawahnya.
“Ya. Agaknya pasar kota kecil ini cukup ramai. Mereka membawa hasil kebun yang akan mereka tukarkan dengan barang-barang buatan kota kecil ini. Mungkin alat-alat pertanian dari besi atau barangkali barang-barang tenun.”
Yang lain mengangguk-angguk saja. Mereka masih dipengaruhi oleh perasaan lelah dan kantuk. Bahkan salah seorang dari mereka, menyandarkan dirinya pada dinding batu dan di luar kehendaknya, matanya telah terpejam.
“Kita juga pergi ke pasar.” berkata salah seorang dari mereka.
“Tetapi pasar masih sepi. Nanti, jika matahari naik sepenggalah, maka pasar itu akan penuh dengan orang-orang yang datang dari berbagai penjuru.”
“Kita akan mengambil satu atau dua orang dari pasar itu. Kita akan menggiringnya kembali kepadepokan tanpa ada yang dapat merintanginya. Jika pengawal-pengawal kota ini akan menghambat perjalanan kita, kita akan membunuhnya atau menggiringnya sama sekali. Jika kita mendapat empat atau lima orang sekaligus, maka untuk beberapa bulan kita tidak perlu mencarinya lagi.”
“Tetapi lebih sulit memelihara orang dari pada memelihara ternak, karena orang mempunyai pikiran dan usaha untuk melarikan diri.”
“Kita ikat tangan dan kakinya kecuali saat-saat mereka makan.”
“Mereka dapat membunuh diri sebelum saatnya.”
“Bagaimana mungkin jika mereka terikat.”
“Mereka tidak makan dan tidak minum. Tujuh hari tujuh malam, maka mereka akan mati dengan sendirinya.”
“Kita akan memasukkan makanan dan minuman dengan paksa ke dalam mulut mereka.”
Yang lain tertawa. Rasa-rasanya memang aneh untuk memelihara seseorang karena akan dapat menumbuhkan persoalan yang bermacam-macam. Jauh lebih rumit dari memelihara seekor kerbau.
Namun sementara itu, seorang kawan mereka masih tetap tertidur sambil bersandar. Bahkan nampaknya tidurnya semakin menjadi nyenyak.
Tetapi ia segera terbangun ketika kawan-kawannya kemudian memutuskan untuk segera meninggalkan tempat itu, menuju ke pasar yang tentu sudah menjadi semakin ramai.
“Sebelum kita mengambil korban, kita akan makan dahulu dan melihat-lihat. Barangkali kita akan mendapatkan korban dari jenis yang lain.” desis seorang diantara kelima orang itu yang bertubuh kekar.
“Maksudmu?” bertanya Paguh.
“Tentu dipasar itu ada gadis-gadis cantik pula.”
“Kau masih saja selalu dihinggapi penyakit gila itu. Kau dapat tertimpa malapetaka karena sifatmu yang satu itu.”
Tetapi orang itu tertawa. Katanya, “ Kalian akan menggiring korban itu. Dan aku akan membawa korbanku sendiri.”
“Kepadepokan?”
“Tidak. Aku akan meninggalkannya di luar kota.”
Yang lain tidak menghiraukannya lagi. Mereka membenahi pakaian mereka sejenak. Kemudian mereka pun berjalan menuju ke pasar yang memang sudah menjadi semakin ramai, karena matahari pun mulai terbit di punggung pegunungan.
Dengan sikap yang sangat menarik perhatian kelima orang itu masuk ke dalam pasar. Mereka sama sekali tidak menghiraukan berpasang-pasang mata memandang mereka dengan hati yang berdebar-debar.
“Kita makan saja lebih dahulu.” desis Paguh. Yang lain mengangguk-angguk.
Tanpa menghiraukan siapa pun juga, maka kelima orang itu pun kemudian menuju ke sebuah warung di pinggir pasar itu. Dengan kasar mereka pun segera duduk dan memesan beberapa mangkuk minuman dan makanan.
Sejenak mereka masih sempat bergurau sambil menyumbat mulut masing-masing dengan beberapa potong makanan sebelum mereka menghabiskan beberapa mangkuk nasi dan lauk pauknya.
Penjualnya merasa cemas sejak kelima, orang itu memasuki warungnya. Ia sudah menduga, bahwa kelima orang itu bukannya langganannya yang selalu datang, setelah mereka menjual dagangannya dan menukarkannya dengan kebutuhan mereka di padukuhan.
Ternyata dugaannya tidak salah. Setelah kelima orang itu kenyang maka mereka pun segera berdiri. Dengan mengangguk dalam-dalam, orang yang bertubuh kekar itu pun berkata, “Terima kasih paman dan bibi. Kami sudah kenyang. Kebaikan hati paman dan bibi tidak akan dapat kami lupakan.”
Penjual makanan itu hanya dapat menahan hati. Suami isteri itu sadar, bahwa mereka berhadapan dengan orang-orang yang tidak dapat diajak berbicara dengan kata-kata. Jika mereka berani menanyakan harga makanan dan minuman yang telah dimakan mereka itu, maka akibatnya akan menjadi buruk sekali.
Karena itulah, maka kehadiran kelima orang itu, telah menimbulkan kecemasan yang meluas di antara mereka yang berada di dalam pasar itu.
Tetapi tidak seorang pun yang berani menegur kelima orang itu- Bahkan orang-orang yang ada di dalam pasar itu justru melemparkan pandangan mereka jauh-jauh, jika kelima orang itu lewat di dekat mereka.
“Menyenangkan sekali.” desis salah seorang dari kelima orang itu. “Banyak perempuan cantik di dalam pasar ini.”
“Aku belum melihat satupun.” desis yang bertubuh kekar, “Agaknya matamu memang mata yang sangat buruk untuk melihat perempuan.”
Paguh tertawa. Ia pun kemudian menyahut, “Penilaian kalian yang berbeda. Tetapi nampaknya kalian sama sekali tidak tertarik kepada anak-anak muda itu.”
Mata kawan-kawannya pun tiba-tiba telah terbelalak. Mereka melihat dua orang anak muda yang sedang duduk di dalam sebuah warung kecil di sudut pasar yang telah menjadi ramai itu.
“Tampan sekali.” desis Paguh, “Aku kira mereka tentu anak orang yang memiliki tata cara hidup yang baik dan teratur. Menilik pakaian yang mereka kenakan, dan menilik cara mereka mengangkat mangkuk minuman dan menyuapi mulut mereka dengan makanan.”
“Dan agaknya mereka benar-benar hanya berdua Tidak ada orang lain di dalam warung itu.”
“Mungkin mereka sedang menunggu seseorang yang meninggalkan keduanya di dalam warung itu.”
Yang lain mengangguk-angguk. Namun salah seorang lari mereka berkata, “Masih terlalu muda. Apakah kita tidak dapat menemukan orang yang lebih tua. Lebih baik kita membawa orang yang sudah melampaui masa dewasanya. Mereka sudah cukup masak untuk dijadikan korban.”
Paguh mengangguk-angguk. Katanya, “Anak-anak itu memang masih terlampau muda. Tetapi jika tidak ada yang lain, keduanya akan dapat menyenangkan hati guru. Bahkan mungkin darahnya jauh lebih bersih dari seorang yang sudah melampaui usia mudanya.”
Sejenak mereka termangu-mangu. Namun kemudian Paguh berkata, “Marilah kita duduk saja di sini sambil mengawasi anak-anak itu. Jika kita menemukan yang lain, kita biarkan anak-anak itu pergi dan bertemu lagi di-tahun-tahun mendatang.”
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Karena itulah maka mereka pun kemudian duduk di pinggir pasar sambil mengamat-amati dua orang anak-anak muda yang berada di dalam warung itu.
Namun tiba-tiba saja Paguh menggamit kawannya sambil menunjuk tiga orang yang sedang memasuki pasar itu. Nampaknya mereka adalah orang-orang yang datang dari daerah yang agak jauh.
“Mereka bukan orang-orang di sekitar daerah ini.” desis Paguh.
“Ya. Dan minilik sikap mereka, maka mereka pun bukan orang kebanyakan.”
“Menyenangkan sekali kami dapat bertemu dengan ketiga orang itu. Kita akan membawa mereka semuanya kembali ke padepokan. Guru tentu akan senang sekali.”
“Yang tua itu?”
“Ya, sudah terlalu tua. Tetapi yang dua masih belum. Mereka masih cukup muda meskipun sudah bukan anak-anak muda lagi. Tubuhnya meyakinkan dan mungkin mereka juga mempunyai ilmu yang memang diperlukan bagi korban-korban.”
“Kita tidak usah banyak pertimbangan. Lihat, mereka sudah berada di antara orang di dalam pasar ini. Sebelum kita kehilangan mereka, marilah kita menemuinya dan berkata berterus terang. Jika mereka bersedia, dengan baik-baik kita mempersilahkan mereka singgah di padepokan, meskipun dengan menyesal, kita tidak akan pernah memberikan kesempatan mereka untuk keluar dari padepokan kita.”
Paguh yang merasa dirinya mendapat tugas langsung, merasa wajib untuk mengambil sikap. Karena itulah maka ia pun segera melangkah mendekati ketiga orang yang sedang melihat-melihat beberapa macam barang yang dijajakan di dalam pasar itu.
Orang yang paling tua diantara ketiga orarg itu terkejut ketika ia merasa seseorang telah menggamitnya. Ketika ia berpaling dilihatnya lima pasang mata sedang menatapnya dengan tajamnya, diantara orang-orang yang berada di dalam pasar itu.
“Ki Sanak.” berkata Paguh, “Aku mempunyai keperluan sedikit dengan Ki Sanak.”
“O.” desis orang tua itu, “Siapakah kalian?”
“Marilah kita menepi. Mungkin kita dapat berbicara beberapa saat.”
Orang yang paling tua diantara ketiga orang itu menjadi ragu-ragu. Namun kemudian ia menggamit kedua kawannya dan mengatakannya, bahwa kelima orang itu ingin bertemu dengan mereka.”
Kedua orang yang lebih muda itu pun sama sekali tidak berkeberatan, sehingga mereka pun kemudian pergi beriringan menepi. Namun demikian, agaknya beberapa orang masih saja mengawasi mereka dengan cemas. Bahkan seseorang berbisik, “Aku merasa seolah-olah udara di dalam pasar ini menjadi panas dengan kehadiran orang-orang itu.”
“Ya. Aku akan pulang saja.”
Orang itu pun kemudian dengan tergesa-gesa mengemasi barang-barangnya tanpa mempedulikan kawamnya.
Beberapa orang yang lain pun ternyata menjadi gelisah pula. Dengan diam-diam mereka pun membenahi barang-barangnya pula dan memasukkannya ke dalam keranjang. Jika sesuatu terjadi, maka dengan mudah ia menyingkirkan dagangannya yang sudah berada di dalam keranjang itu.
Ketiga orang itu ternyata tanpa keberatan apapun menurut saja permintaan Paguh untuk menepi. Bahkan nampaknya mereka sama sekali tidak bercuriga.
Sejenak kemudian, maka kelima orang berilmu hitam itu pun telah berdiri mengelilingi ketiga orang yang sama sekali tidak menduga, apakah yang akan terjadi atas diri mereka.
“Ki Sanak.” berkata orang yang paling tua diantara ketiga orang itu, “Kami belum mengenal Ki Sanak berlima. Karena itu, sebenarnya kami agak terkejut ketika Ki Sanak mengajak kami menepi untuk sedikit membicarakan sesuatu.”
Paguh tertawa. Katanya, “Memang kau benar kakek tua. Kami belum mengenal kalian seperti kalian belum mengenal kami. Tetapi kami terpaksa mengajak kalian menepi, karena ada persoalan yang sangat penting.”
“Persoalan apa Ki Sanak.”
“Kami ingin mempersilahkan kalian singgah di rumah kami sejenak.”
“Apakah keperluannya?”
“Nanti kalian akan mengetahuinya.”
Orang yang paling tua diantara ketiganya itu pun memandang kedua kawannya yang masih lebih muda daripadanya, seolah-olah ia minta pertimbangan dari keduanya.
“Maaf Ki Sanak.” berkata salah seorang dari yang masih muda itu, “Kami tidak mempunyai banyak waktu. Jika kalian mempunyai kepentingan apapun juga, sebaiknya kalian memberitahukan kepada kami sekarang saja.”
Paguh mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tertawa, “Kalian jangan membantah. Ada sesuatu yang sangat penting dan tidak dapat aku katakan disini.”
“Ah, itu aneh sekali.” jawab yang paling muda diantara ketiga orang itu, “Tentu dapat kalian katakan dimana pun juga jika memang kalian tidak mempunyai maksud tertentu.”
“Kau mudah menjadi curiga. Tetapi itu dapat dimengerti. Tetapi bagaimana pun juga, kami tetap minta kalian untuk singgah.”
“Maaf Ki Sanak.” jawab yang lebih tua, “Kami tidak mempunyai waktu.”
“Kami tidak bertanya apakah kalian mempunyai waktu atau tidak. Baiklah, aku akan berkata menurut caraku. Marilah, ikuti kami sebelum kami memaksa.”
“Apakah sebenarnya maksud kalian.” yang paling tua mengerutkan keningnya, “Maaf. Kami tidak mau dipaksa meskipun dengan kekerasan.”
Yang paling muda diantara ketiga orang itu agaknya tidak dapat menahan diri lagi. Tetapi yang lebih tua menggamitnya sambil memberikan isyarat.
Yang paling muda menarik nafas dalam sekali, seakan-akan ia berusaha untuk mengendapkan kembali gejolak hatinya yang hampir meluap.
“Kalian jangan keras kepala.” berkata Paguh, “Dengan demikian kalian akan menyesal.”
“Sayang sekali.”
Paguh mengangguk-angguk. Tiba-tiba saja ia melangkah beberapa langkah.
Ketiga orang yang diajaknya menepi itu termangu-mangu. Mereka tidak tahu apa maksud orang itu. Namun kemudian mereka menjadi berdebar-debar ketika Paguh dengan serta merta menarik lengan seorang anak muda yang sedang berdiri dimuka barang-barang besi yang sedang ditawarnya.
Anak muda itu terkejut. Dengan serta merta ia meronta. Tetapi pegangan tangan Paguh bagaikan besi yang menjepit lengannya itu.
“Jangan ribut anak muda.” berkata Paguh.
“Lepaskan, apakah kau gila.” geram anak muda itu.
“Tidak. Aku tidak gila.”
Ternyata anak muda itu tidak sendiri. Dua orang kawannya yang sebaya dengan anak muda itu pun segera mendekatinya sambil bertanya, “Apakah salahnya kawanku.”
“Ia tidak bersalah sama sekali. Tetapi aku memerlukannya. Aku ingin membunuhnya.”
“Gila.” anak muda itu berteriak. Sedang kedua kawannya pun membelalakkan matanya.
“Apa maksudmu dengan leluconmu itu?” bertanya salah seorang dari kedua kawannya.
“Bukan sekedar lelucon. Tetapi aku akan melakukannya.”
“Jangan gila.” sekali lagi anak muda itu meronta. Namun ia tidak berhasil melepaskan dirinya.
Karena itu, maka ia tidak tahan lagi. Dengan serta merta ia menyerang Paguh dengan kakinya. Sementara kedua orang kawannya segera membantunya.
Tetapi yang terjadi adalah diluar dugaan sama sekali. Dengan tangan kirinya Paguh memukul kedua kawannya itu sehingga mereka terpelanting jatuh dan langsung menjadi pingsan.
Sementara itu, pasar itu pun menjadi ribut. Beberapa orang berIari-Iarian menyingkir, karena ternyata perkelahian tidak dapat dihindarkan meskipun mereka tidak tahu sebab musababnya.
Anak muda yang seorang masih di dalam genggaman Paguh. Dengan suara yang menggeletar Paguh berkata, “Nasibmu memang buruk anak muda. Aku akan membunuhmu dan mengelupas kulitmu seperti kulit pisang.”
Kata-kata itu telah mengejutkan ketiga orang yang berdiri kebingungan. Bahkan dengan serta merta yang paling muda di antara mereka bertanya, “Jadi kau benar-benar akan membunuhnya dan mengelupas kulitnya seperti kulit pisang?”
“Ya. Aku akan memberikan sekedar contoh kepadamu, bahwa aku pun dapat berbuat demikian atas kalian bertiga.”
“Tetapi orang itu tidak bersalah.”
“Terserah kepadamu. Jika kau bersedia mengikuti aku, maka anak muda ini akan tetap hidup. Jika kau menolak, maka aku tidak sekedar menakut-nakutinya saja.”
Ketiga orang itu berpikir sejenak. Tawaran itu sama seka li tidak dimengerti makmudnya.
“Aku tidak mempunyai hubungan apapun dengan orang yang kau tangkap itu. Aku tidak perduli apakah ia akan kau bunuh sekali, kau kelupas kulitnya, atau kau cincang sampai lumat. Tetapi sudah tentu kau tidak akan dapat berbuat demikian atas kami bertiga.”
Paguh membelalakkan matanya. Dengan gigi yang gemeretak ia menggeram, “Kau kira aku tidak sanggup melakukannya atasmu?”
“Tentu tidak. Nah, lakukanlah apa yang akan kau lakukan atas orang yang tidak aku kenal itu. Meskipun seandainya kau bunuh seisi pasar ini, apa peduliku?”
Mata Paguh menjadi merah. Ternyata orang itu pun orang yang berhati batu. Ia tidak menghiraukan sama sekali apapun yang akan dilakukannya.
Tetapi Paguh adalah orang yang bukan saja berhati batu. Tetapi bahkan ia sama sekali tidak mempunyai pertimbangan perasaan. Karena itu, maka ia pun perlahan-perlahan mengambil pisau belatinya yang tajam mengkilap.
“Jangan, jangan.” teriak orang yang masih saja dipegang lengannya itu.
“Bukan salahku. Salah ketiga orang yang tidak mau singgah ke rumahku itu.”
“Jangan bunuh aku.” orang itu meronta-ronta.
“ Diam. Mintalah kepada ketiga orang itu.”
Orang yang paling tua dari ketiga orang itu menarik nafas dalam-dalam. Namun yang muda segera berkata, “Bunuhlah. Aku akan senang sekali melihat caramu mengelupas kulit manusia.”
Benar-benar perbuatan gila yang tidak disangka-sangka oleh Paguh. Dua orang yang lebih muda itu pun kemudian berjongkok dengan tenangnya. Salah seorang berkata, “Tontonan yang jarang sekali dapat dilihat dimanapun juga selain di daerah ini.”
“Gila, gila.” teriak Paguh, “Kalian bertigalah yang akan segera mengalami nasib serupa.”
Ketiganya sama sekali tidak menjawab.
Kemarahan Paguh benar-benar tidak dapat ditahankannya lagi. Tiba-tiba saja tangannya terayun kearah perut orang yang di dalam genggamannya itu.
Namun tiba-tiba saja ia terkejut ketika terdengar suara di kejauhan, “Jangan. Jangan kau lakukan.”
Paguh berpaling. Kawan-kawannya pun berpaling. Demikian juga ketiga orang yang tidak menghiraukan apapun juga atas kematian yang hampir menerkam orang yang tidak tahu apa-apa itu.
Yang mereka lihat adalah dua orang anak muda yang berada di dalam warung. Dengan tergesa-gesa mereka melangkah mendekati orang-orang yang justru menjadi heran melihat kehadiran mereka.
Sementara itu, pasar itu pun benar-benar telah bubar. Hanya beberapa orang saja yang masih berkerumun di kejauhan untuk melihat apa yang bakal terjadi.
Dua orang anak muda yang mendekati Paguh itu pun kemudian berhenti beberapa langkah daripadanya. Dengan cemas, salah seorang dari keduanya bertanya, “Apakah salahnya orang itu? Apakah ia, telah mencuri milikmu?”
Paguh memandang kedua anak-anak yang masih terlalu muda itu dengan heran. Justru keduanyalah yang mula-mula ingin dijadikan korban untuk ilmu hitamnya.
“Menurut penglihatanku.” berkata anak muda itu selanjutnya, “Orang itu sama sekali tidak bersalah. Ia hanya sekedar menjadi korban perselisihanmu dengan orang lain. Kenapa kau telah mengambilnya dan menjadikannya semacam contoh untuk menakut-nakuti orang lain, sedangkan yang kau takut- takuti sama sekali tidak menjadi takut karenanya?”
Paguh membelalakkan matanya, sementara anak muda itu masih berbicara terus, “Apakah sebenarnya kaulah yang takut kepada tiga orang itu, sehingga kau terpaksa berbuat aneh-aneh agar kau nampak menjadi seorang yang gagah berani.”
“Tutup mulutmu.” bentak Paguh.
“Maaf Ki Sanak.” sahut anak muda itu, “Aku mohon. Janganlah mengorbankan orang lain yang sama sekali tidak bersalah. Berbuatlah langsung kepada tiga orang yang barang kali sudah mempunyai persoalan lama dengan kalian. Bukankah kau sekarang berlima?”
“Anak muda.” tiba-tiba saja yang tertua dari ketiga orang itu menjawab, “Kami tidak mempunyai persoalan sebelumnya. Kami baru saja mengenal mereka sekarang ini. Namun nampaknya mereka sudah akan menunjukkan kuasanya atas kami.” Ia berhenti sejenak, lalu, “Tetapi sebaiknya kalian tidak usah turut campur. Orang-orang ini adalah orang-orang yang tidak mengerti arti hubungan antara manusia sewajarnya. Ketahuilah anak-anak muda, bahwa kelima orang ini adalah orang-orang yang disebut berilmu hitam. Mereka sering mengorbankan darah bagi kesegaran ilmunya. Itulah sebabnya mereka mempersilahkan kami untuk singgah di rumah mereka. Tetapi dengan demikian maka akan berarti bahwa kami telah memasuki sarang semut. Betapapun juga, kami tidak akan dapat keluar lagi jika kami dikerumuni oleh puluhan bahkan mungkin ratusan semut-semut seperti kelima orang ini.”
“Gila, anak setan bekasakan.” Paguh mengumpat sejadi-jadinya. “He, darimana kau dapat menyebut kami orang-orang berilmu hitam?”
Orang yang paling tua diantara ketiga orang itu menjawab sareh, “Kalian memang bodoh. Juga gurumu, ternyata bodoh karena telah mengirimkan kalian untuk mencari korban. Dengan kalimat-kalimat yang khusus diucapkan oleh orang-orang berilmu hitam, setiap orang akan segera mengenal kalian.”
Paguh dan kawan-kawannya serentak menggeram. Bahkan mereka pun segera mempersiapkan diri, karena mereka sadar bahwa tidak ada lagi jalan kembali. Ketiga orang itu ternyata mengetahui dengan pasti, apa yang sedang mereka lakukan.
Karena itulah, maka Paguh pun kemudian menggeretakkan giginya sambil berkata, “Sekarang tidak ada pilihan lain bagi kami dan bagi kalian. Kalian memang harus mengikuti aku. Kalian adalah korban yang paling mengasyikkan.”
“Tetapi Ki Sanak.” berkata salah seorang dari yang muda, “Bukankah korban darah itu harus menitik dari orang yang masih hidup? Jika kalian berlima membunuh kami, maka itu tidak akan ada artinya sama sekali bagi korban yang akan kau berikan.”
“Kami akan menangkap kalian hidup-hidup.”
“Itu tidak mungkin, karena kami akan melawan sampai mati atau kalian berlima yang akan mati.”
“Gila. Kami mempunyai kemampuan untuk membuat kalian membeku. Kalian memang seperti mati, tetapi kalian masih tetap hidup, dan darah kalian masih tetap, cair.”
Tetapi yang paling muda dari ketiga orang itu tertawa. “Ilmu kalian memang bermacam-macam. Tetapi kalian tidak akan dapat menangkap kami, karena kalian akan mati.”
“Persetan.” Paguh berteriak, “Lihat, apa yang dapat aku kerjakan. Jika terpaksa kami membunuh kalian, maka kami tidak akan menyesal, karena masih banyak orang yang dapat dikorbankan. Tetapi jika kalian ingin melihat cara kami membunuh, maka kami akan mempertunjukkannya kepada kalian.”
Anak muda yang di dalam genggaman Paguh itu meronta sekali lagi. Ia merasa bahwa ia akan tetap dijadikan tontonan yang paling mengerikan.
Tetapi sekali lagi Paguh menggeram ketika ia melihat ketiga orang itu sama sekali tidak mengacuhkan kata-katanya. Bahkan yang paling muda dari mereka itu pun berkata, “Sudah aku katakan. Lakukan yang akan kalian lakukan. Aku tidak peduli. Aku tidak mempunyai hubungan apapun dengan orang itu.”
“Tolong. Tolonglah aku.” teriak anak muda yang akan dijadikan contoh cara-cara pembunuhan yang paling mengerikan.
Paguh ternyata sudah tidak dapat menahan diri lagi. Ia ingin menunjukkan kepada ketiga orang yang sangat memuakkan itu, cara-cara yang paling baik untuk membunuh perlahan-lahan.
“Uh, aku akan mengelupas kulitnya. Ia tidak akan segera mati. Ia akan mati perlahan-lahan. Demikianlah yang akan berlaku atasmu.” geram Paguh.
“Tolong, tolong.” teriak orang itu.
Tetapi ketiga orang itu justru tersenyum-senyum saja melihatnya. Yang muda berkata pula, “Aku memang ingin belajar serba sedikit, bagaimana caranya menguliti seseorang, tetapi orang itu tidak mati.”
Paguh benar-benar bagaikan dibakar isi dadanya. Dengan serta merta ia pun mengayunkan pisau belatinya mengarah ke dada orang yang masih di dalam pegangannya itu.
“Aku akan menyobek kulit dadanya sampai kepunggungnya.” geramnya.
Namun tiba-tiba saja terasa tangannya bagaikan tersentuh api. Pisau ditangannya itu pun terlepas dan bahkan terlempar beberapa langkah dari padanya.
Paguh terkejut bukan buatan. Lemparan itu tidak berasal dari ketiga orang yang sedang menonton itu. Bahkan ternyata ketiga orang itu pun terkejut pula melihat pisau Paguh, terpelanting dari tangannya.
“E, maaf Ki Sanak.” berkata salah seorang dari kedua anak-anak muda itu. “Aku terpaksa mengganggu, karena aku tidak senang melihat kematian yang sia-sia. Kalau kau akan membunuh, seharusnya kau tidak membunuh anak muda yang sama sekali tidak tahu menahu itu. Sebaiknya kau langsung berurusan dengan ketiga orang yang nampaknya telah bersiap melawanmu dan kawan-kawanmu. Itu baru disebut jantan. Bukan membunuh orang yang sama sekali tidak berarti apa-apa.”
Wajah Paguh menjadi merah. Dengan suara yang tertahan-tahan karena gejolak di dadanya ia berkata, “Jadi agaknya lebih baik kau berdua sajalah yg. aku pergunakan untuk contoh kematian yang mengasyikkan.”
“Itu pun sikap pengecut. Ambil salah seorang dari ketiga orang itu. Mereka pun agaknya orang-orang yang keras seperti kau dan kawan-kawanmu meskipun mereka tidak berilmu hitam. Ternyata bahwa mereka sama sekali tidak menaruh iba melihat orang yang kau pegangi itu meronta-ronta ketakutan.”
Paguh menggeram dengan nada yang berat. Matanya menjadi semakin merah.
Sementara itu, salah seorang dari ketiga orang itu pun berkata, “Kau jangan membuat persoalan-persoalan baru disini anak muda. Baiklah, katakan kami tidak menaruh belas kasihan. Tetapi sikapmu seharusnya agak lebih baik dari yang kau tunjukkan itu.”
“Kami minta maaf.” jawab salah seorang dari kedua anak muda itu, “Seharusnya kami memang berbuat demikian. Tetapi kami harap bahwa kalian tidak membiarkan sikap yang gila itu terjadi lagi.”
Orang yang paling tua dari ketiga orang itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berkala, “Baiklah anak muda. Kau benar. Seharusnya kami tidak membiarkan orang-orang itu berbuat sewenang-wenang. Nah baiklah. Aku akan mencegahnya.”
Kedua kawannya memandanginya dengan heran. Namun kemudian salah seorang dari mereka berkata, “Baiklah. Baiklah. Kami memang harus berkelahi. Tidak ada pilihan lain. Sekarang atau nanti.”
Kemarahan Paguh pun kemudian telah memuncak sampai keujung ubun-ubunnya. Apalagi ketika ia melihat ketiga orang yang semula dengan acuh tak acuh melihat orang yang meronta-ronta di tangannya itu sudah mempersiapkan diri untuk berkelahi.
Paguh tidak dapat tetap memegangi orang yang sudah hampir pingsan ketakutan itu. Tetapi ia adalah orang yang benar-benar tidak mempunyai perasaan. Karena itu, maka ia tidak hanya sekedar melepaskan orang itu dari genggamannya, tetapi orang itu telah dikibaskannya, sehingga ia terpelanting.
Jika kepalanya membentur dinding batu, maka, kepala itu tentu akan pecah, dan orang itu tidak akan mampu untuk bangkit kembali.
Tetapi untunglah, bahwa ia terlempar beberapa langkah dari salah seorang anak muda yang sudah menjadi semakin dekat itu. Dengan lincahnya, salah seorang dari kedua anak muda itu meloncat menyambarnya. Meskipun ia pun kemudian terdorong beberapa langkah, dan bahkan menjadi terhuyung-huyung, namun ia berhasil untuk menahan orang itu, sehingga kepalanya tidak terbentur apa pun juga.
Pada saat itu. kawan Paguh yang bertubuh kekar, menjadi sangat marah pula. Selagi anak muda itu menolong orang yang terpelanting, maka orang bertubuh kekar itu meloncat mendekatinya, dan siap untuk menyerang anak muda yang sedang sibuk menolong orang yang terpelanting itu.
Tetapi pada saat yang bersamaan, anak muda yang seorang lagi telah siap pula meloncat menghadapi orang bertubuh kekar itu.
Pada, saat itu, ketiga orang yang semula diharapkan untuk dijadikan korban itu pun telah siap pula. Dua orang yang lebih muda berdiri berjajar dekat sekali.
Yang seorang sempat berbisik, “Jangan lupa kau sebut namamu.” desisnya.
Yang muda mengerutkan keningnya, “Kenapa? Orang-orang berilmu hitam tentu sudah mengenal namaku. Aku menyebut namaku pada saat aku bertempur melawan salah seorang dari mereka di Kota Raja.”
“Kita akan menempuh perjalanan yang panjang. Jika orang-orang berilmu hitam itu mengenal bahwa kaulah yang bernama Linggadadi, maka kemana pun kau pergi, maka kau akan menjadi buruan mereka, dan itu akan sangat mengganggu, karena akan menjauhkan kita dari sarang mereka.”
“Kitalah yang akan datang ke sarang mereka.”
“Mereka akan menjebak kita. Justru karena mereka tahu bahwa kau bernama Linggadadi. Karena itu, jangan sebut namamu. Kita harus melawan kelimanya dan membunuhnya sampai orang yang terakhir agar tidak ada laporan yang terperinci mengenai diri kita masing-masing.”
“Banyak saksi yang melihat peristiwa ini.”
“Dari kejauhan. Dan mereka tidak akan dapat menyebut kita dengan ciri-ciri yang cermat.”
Yang paling muda. yang ternyata darahnya paling panas mengangguk-angguk. Ia pun kemudian bergeser menjauhi kakaknya Linggapati yang sudah bersiap pula menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi.
Pasar itu pun telah benar-benar menjadi bubar. Orang yang berada di kejauhan pun menjadi semakin menebar. Sementara itu, ketiga orang itu pun telah berdiri menghadap ketiga arah, sementara kelima orang lawannya telah mengepungnya.
Namun Paguh masih sempat bertanya, “He, anak-anak muda yang gila, anak bekasakan. Apakah kau ingin ikut kami bantai disini?”
“Nanti sajalah.” jawab yang muda dari kedua orang anak muda itu, “Berilah kesempatan kami menonton perkelahian yang tentu akan sangat menarik. Tiga melawan lima.”
“Anak setan.” Paguh menggeram. Tetapi ia tidak memperhatiannya lagi. Agaknya ia pun mengerti, bahwa kedua anak muda itu sama sekali bukan kawan dari ketiga orang yang akan ditangkapnya untuk dijadikan korban itu.
“Kami akan membunuh ketiga orang ini lebih dahulu.” geram Paguh di dalam hatinya, “Jika mungkin kami akan menyisakan seorang untuk dijadikan korban. Jika tidak, maka kedua anak-anak muda itu pun memadai. Meskipun nampaknya mereka masih terlalu muda, tetapi mereka agaknya telah memiliki ilmu yang dapat mereka banggakan.”
Demikianlah maka kelima, orang yang mengepung ketiga orang itu pun mulai bergerak dan merapat. Mula-mula mereka hanya maju selangkah demi selangkah. Namun agaknya mereka tidak mau berlama-lama.
“Kita langsung membantai mereka.” terdengar suara orang bertubuh kekar itu.
“Ya.” desis Paguh, “Tetapi jika mungkin salah seorang dari mereka pantas juga untuk dijadikan korban. Semakin tinggi ilmu mereka, maka mereka akan merupakan korban yang lebih baik.”
Yang terdengar adalah Linggadadi mengumpat, “Aku akan membunuh kalian berlima. Meskipun aku tidak biasa mengorbankan darah, maka aku akan memotong kepala kalian dan menggantungkannya di pintu gerbang empat penjuru kota kecil ini. Yang satu akan aku gantung di tengah-tengah kota atau di pintu gerbang pasar ini.”
Kelima orang itu tidak menjawab. Tetapi kemarahan mereka terungkap pada sebuah teriakan nyaring.
Tetapi ketiga orang itu telah siap menghadapi setiap kemungkinan. Bahkan Linggadadi rasa-rasanya menjadi tidak sabar lagi. Di Kota Raja ia merasa kehilangan lawan berilmu hitam karena hadirnya Mahisa Bungalan. Dan kini ia bertemu lagi dengan orang berilmu hitam.
“Meskipun mereka berjumlah lima orang, tetapi dengan kakang Linggapati dan paman Daranambang, maka kelima orang itu tentu akan dapat kami kalahkan.” berkata Linggadadi di dalam hatinya.
Sejenak kemudian, maka perkelahian pun tidak dapat di hindarkan lagi. Kelima orang itu mulai menyerang Linggapati dan kedua kawannya yang telah bersiaga pula menghadapinya.
Beberapa orang yang masih berkerumun di kejauhan, melihat perkelahian itu dengan hati yang berdebar-debar. Beberapa orang pun segera berlarian memanggil beberapa orang pengawal kota di gardu mereka.
“Mereka tentu orang-orang gila yang berkelahi dalam kelompok-kelompok.” desis salah seorang pengawal.
“Mungkin anak-anak muda yang tidak mempunyai kesibukan mudah sekali terlibat dalam perselisihan berkelompok. Persoalan-persoalan kecil akan mekar menjadi sebab perkelahian yang hampir tidak terkendali.” berkata seorang pengawal yang lain.
“Marilah kita lihat.” desis seorang pengawal.
“Kita akan pergi bertiga. Anak-anak itu pada suatu saat harus dibikin jera.”
“Tetapi mereka bukan anak-anak.” berkata orang yang melaporkan perkelahian itu, “Memang ada diantara mereka yang terlibat dalam perselisihan itu masih muda. Tetapi ada pula yang sudah tua.”
“Siapapun mereka.” berkata salah seorang pengawal.
Demikianlah ketiga orang pengawal itu dengan tergesa-gesa pergi ke pasar. Dengan kemarahan yang menyesak dadanya, mereka berniat untuk menangkap mereka yang menjadi sebab perkelahian itu, karena perkelahian di antara anak-anak muda nampaknya akan menjadi kegemaran. Perkelahian antara anak-anak muda dari satu padukuhan dengan padukuhan yang lain. Bahkan kadang-kadang tanpa sebab. Mereka berpapasan di jalan, saling memandang dan kemudian mereka pun berkelahi. Ekor dari perkelahian itu adalah anak-anak muda sepadukuhan ikut serta berramai-ramai.
Ketika mereka mendekati gerbang pasar, maka beberapa orang yang berkerumun di kejauhan itu pun segera menyibak untuk memberi jalan kepada ketiga orang pengawal itu.
Namun demikian ketiga pengawal itu memasuki gerbang pasar yang sepi, langkahnya tiba-tiba terhenti. Dari pintu gerbang ia melihat sekelompok orang yang sedang berkelahi.
Ketiga pengawal itu pun menjadi termangu-mangu. Seperti bermimpi ia melihat perkelahian yang sedang berlangsung dipinggir pasar itu. Demikian dahsyatnya, sehingga ketiga orang pengawal kota kecil itu tidak dapat menilai, apakah yang sedang dihadapi.
“Mereka memang berkelahi berkelompok.” desis salah seorang pengawal itu.
“Tetapi yang mana melawan yang mana?” desis yang lain.
Ketiganya menjadi bingung. Mereka belum pernah melihat perkelahian yang demikian dahsyatnya.
“Apakah kita akan mendekat dan menangkap mereka?” bertanya salah seorang dari ketiganya itu dengan tiba-tiba.
Yang lain menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Apakah kita akan mampu berbuat sesuatu atas mereka? Mereka memang bukan anak-anak muda yang sedang berkelahi karena mereka berpapasan di jalan dan saling memandang.”
Yang lain menarik nafas dalam-dalam.
Seorang yang menonton perkelahian itu dari luar pasar, memberanikan diri mendekati ketiga pengawal itu sambil berbisik, “Apakah mereka akan ditangkap?”
“Kau gila.” geram pengawal itu, “Hanya para Senapati dari Singasari sajalah yang mampu melerai mereka dan menangkapnya.”
“Jadi?”
“Kita tidak dapat berbuat apa-apa.”
Dengan demikian, maka tidak ada seorang pun yang berani mengganggu perkelahian itu. Semakin lama justru menjadi semakin dahsyat.
Dalam pada itu kedua anak-anak muda yang mendekati mereka yang sedang berselisih itu pun masih melihat perkelahian itu dari dekat. Bahkan nampaknya perkelahian itu sangat menarik perhatiannya. Sehingga karena itu, maka keduanya seolah-olah telah terpesona oleh tata gerak dan ilmu yang dilihatnya pada setiap orang yang sedang bertempur mati-matian itu.
Paguh dan kawan-kawannya yang berjumlah lima orang itu segera, berusaha untuk berkelahi dalam sebuah lingkaran mengurung ketiga orang lawannya.
Tetapi ketiga orang lawannya itu sudah mengerti sepenuhnya cara orang berilmu hitam itu bertempur di saat-saat mereka sampai ke puncak ilmunya. Mereka akan segera berlari-lari mengelilingi lawannya dan menyerang dengan cepatnya sambil bergeser dalam putaran.
Linggadadi pernah menceriterakan, apa yang dilihat dan dialaminya. Meskipun saat itu ia berhadapan dengan seorang saja, namun cara yang akan dipergunakan oleh kelompok itu tentu tidak akan jauh berbeda. Apalagi setelah Linggadadi melihat kelima orang itu berada di dalam lingkaran yang mulai bergerak pelahan-lahan.
Agaknya Linggapati harus menghadapi lawan-lawannya dengan hati-hati. Itulah sebabnya, ia pun segera memegang pimpinan dalam kelompok kecil yang terdiri hanya oleh tiga orang itu.
Dengan isyarat-isyarat ia mulai mengatur perlawanan. Linggadadi yang pernah melihat cara orang berilmu hitam itu bertempur dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan seperlunya, sehingga kadang-kadang mereka bertiga dapat mendahului tata gerak dari lawannya.
“Gila.” desis Paguh, “Mereka tentu pernah melihat salah seorang dari keluarga kami dalam pertempuran yang sesungguhnya.”
Dalam pada itu tiba-tiba saja salah seorang berkata, “Apakah salah seorang dari ketiga orang ini bernama Mahisa Bungalan yang mendapat sebutan pembunuh orang berilmu hitam?”
“Atau Linggadadi yang disebut pula telah membunuh orang berilmu hitam di Kota Raja?”
“Salah satu dari keduanya, Mahisa Bungalan atau Linggadadi. Dan keduanya bukannya kawan sekelompok.” desis kawannya yang lain.
Namun akhirnya Paguh menggeram, “Siapapun mereka itu, namun kita akan memusnakannya atau menangkapnya untuk dijadikan korban.”
Sementara itu kedua anak-anak muda yang melihat perkelahian itu pun berbisik, “Kita tahu pasti. Tidak seorang pun dari ketiga orang itu yang bernama Mahisa Bungalan, anak Mahendra yang mendapat sebutan pembunuh orang berilmu hitam. Karena itu, jika benar salah seorang dari mereka pernah bertempur melawan orang berilmu hitam, maka salah seorang dari ketiga orang itu tentulah Linggadadi, karena salah seorang yang masih hidup telah menyebut namanya sendiri, Linggadadi saat terjadi perkelahian di rumah saudagar itu.”
“Ya. Salah seorang dari mereka tentulah Linggadadi itu. Atau orang yang berhubungan erat dengan Linggadadi.” sahut yang lain.
Meskipun pertempuran itu semakin lama menjadi semakin sengit, namun kedua anak muda itu sama sekali tak beranjak dari tempatnya. Bahkan mereka seolah-olah mendapat tontonan yang amat mengasyikkan. Sekali-kali mereka saling menebak gerak dari kedua belah pihak. Namun kemudian mereka mulai menilai, siapakah yang akan segera dapat menguasai lawannya.....
Bersambung.....!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar